Ikon Hari Pahlawan setiap 10 November, sering kali dikaitkan dengan Bung Tomo. Hal ini tidak salah, tapi ada banyak pejuang yang turut andil di dalam perjuangan melawan Belanda pada momen tersebut, dan itu tidak boleh dilupakan begitu saja. Misalnya Bung Tomo dan KH. Hasyim Asy’ari zaman revolusi.
Gerakan 10 November di Surabaya, tidak pernah akan lahir, jika tidak ada kejadian-kejadian sebelumnya. Seperti, Resolusi Jihad yang dicanangkan KH. Hasyim Asy’ari sehingga mengobarkan perjuangan umat dalam melawan penjajah.
*****
Pada 22 Oktober 1945 KH. Hasyim Asy’ari melalui lembaga NU mengeluarkan fatwa yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad. Fatwa ini terbilang signifikan untuk menjaga eksistensi Republik Indonesia dan umat Islam. Pasca lahirnya fatwa ini, para pemuda –utamanya santri- tercambuk semangatnya dan turut serta dalam memerdekakan Indonesia dari penjajahan.
Apa yang dilakukan oleh KH. Hasyim ini adalah cikal bakal perjuangan para santri dan tentara rakyat. Peristiwa 10 November 1945 yang dipimpin Bung Tomo adalah puncak akumulasi pertempuran santri dan tentara rakyat melawan pasukan NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie).
Waktu itu umat menyambut dengan sukarela fatwa jihad yang dikeluarkan beliau untuk melawan NICA. Ajakan jihad ini menggema hingga ke seantero Jogjakarta.
Apa jadinya jika saat itu umat tidak mau terikat dengan fatwa ulama? Akankah kemerdekaan Indonesia bisa diraih dengan mudah tanpa ada kerjasama yang apik antara ulama, umara dan umat?
*****
Jadi, ketika kita mengingat Hari Pahlawan pada 10 November, maka jangan sampai di lupakan pihak-pihak lain yang turut berjasa. Bung Tomo sendiri dengan Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari cukup mesra. Dalam artikel berjudul “Pengalaman Bung Tomo” di masa Revolusi yang dimuat dalam majalah Kiblat (13/XXIII: 1975), di situ disebutkan perkenalan pertama kali Bung Tomo dengan KH. Hasyim Asy’ari.
Pertama kali Bung Tomo bertemu dengan KH. Hasyim Asy’ari adalah ketika di Kediri sedang berlangsung resepsi Masyumi. Waktu itu hadir banyak tokoh Masyumi, termasuk KH. Hasyim ‘Asy’ari.
Waktu itu, Bung Tomo masih muda dan belum dikenal dengan sebutan “Bung.” Beliau ikut resepsi tersebut sebagai wartawan muda. Menariknya, saat Bung Tomo datang, KH. Hasyim Asy’ari segera menyambutnya dengan mesra sekali seolah sudah kenal dekat.
Tak pernah disangka sebelumnya oleh Bung Tomo, waktu itu KH. Hasyim Asy’ari memerangkulnya. Bahkan tak hanya itu, si bung juga ditanya kabar dan lain-lain laiknya orang penting. Hal itu sampai membuat orang yang berada di sekitarnya tercengang.
*****
Itulah cerita singkat yang menunjukkan betapa dekatnya Bung Tomo dengan KH. Hasyim Asy’ari sejak awal pertemuannya. Tidak heran jika dalam perjuangannya melawan penjajah, tak jarang meminta saran ulama, di antaranya KH. Hasyim Asy’ari. Sebuah fakta yang membuktikan bahwa betapa besar peran ulama dalam menggelorakan api revolusi melawan segenap penjajahan.
Tidak berlebihan jika E.F.E. Douwes Dekker atau Danu Dirdja Setia Budi –sebagaimana dikutip Ahmad Mansyur Surya Negara dalam Api Sejarah– pernah mengatakan, “Djika tidak karena sikap dan semangat perdjuangan para Ulama, sudah lama patriotisme di kalangan bangsa kita mengalami kemusnahan.” Rahimahumullah rahmatan waasi’ah (semoga mereka diberikan rahmat yang luas oleh Allah).
Dan bagi muslim, menyikapi kemenangan yang dianugerahkan oleh kepadanya, misalnya dalam momentum Hari Pahlawan, adalah dengan bertasbih dan memujinya, sebagaimana dalam surah An-Nashr:
إِذَا جَآءَ نَصۡرُ ٱللَّهِ وَٱلۡفَتۡحُ ١ وَرَأَيۡتَ ٱلنَّاسَ يَدۡخُلُونَ فِي دِينِ ٱللَّهِ أَفۡوَاجٗا ٢ فَسَبِّحۡ بِحَمۡدِ رَبِّكَ وَٱسۡتَغۡفِرۡهُۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابَۢا ٣
“1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan 2. dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong 3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An-Nashr [110]: 1-3) [MBS]