Orang yang sehat, sempat dan masih kuat, kadang-kadang malah kalah jauh dalam hal taat, dibandingkan dengan orang-orang yang cacat. Berikut ini ada beberapa contoh yang menunjukkan betapa luar biasa semangat orang cacat dalam beribadah.
Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam ada sahabat biasa dipanggil Ibnu Ummi Maktum. Suatu hari, ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, dia berkata: “Ya Rasulullah, saya adalah seorang yang buta dan rumahku jauh, sedangkan saya mempunyai orang yang menuntunku tapi dia tidak membantuku, maka apakah saya mendapatkan keringanan untuk melaksanakan shalat di rumahku?”
Beliau bersabda: “Apakah kamu mendengar adzan?” Dia menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Saya tidak mendapatkan keringanan untukmu!” (HR. Abu Dawud) Dalam kitab “Mirqaat al-Mafaatiih” dijelaskan bahwa maknanya adalah bahwa aku tidak mendapatkan rukhsah (keringanan) untukmu terkait keutamaan jamaah dengan yang tanpa jamaah. Hadits ini bukan menerangakan kewajiban jamaah atas orang buta. Karena Nabi memberi keringanan kepada Itban bin Malik untuk tak berjamaah karena cacat.
Dalam kenyataannya, Ibnu Ummi Maktum, terlepas dari keringanan untuk tak shalat berjamaah, beliau memilih tetap untuk berjamaah. Beliau diamanahi azan shubuh yang pertama. Bayangkan, orang dalam kondisi buta, tetap berusaha untuk tetap bisa shalat secara berjamaah. Terlebih, shalat Shubuh berjamaah yang kebanyakan orang sehat saja sering telat.
Selain Ibnu Ummi Maktum, ada lagi kisah yang bisa diangkat dalam tulisan ringkas ini. Orang itu bernama Ar-Rabi’ bin Khutsaim. Dalam kitab Siyar A’laam an-Nubala karya Imam Adz-Dzahabi dijelaskan bahwa beliau adalah imam panutan, cendikiawan dan ahli ibadah.
Abu Hayyan pernah mendapat cerita dari ayahnya bahwa Ar-Rabi’ bin Khutsaim dipapah untuk pergi menunaikan shalat jamaah, padahal saat itu beliau sedang lumpuh. Kemudian ada jamaah bertanya kepada beliau, “Bukankah Anda telah diberi keringanan untuk tidak menunaikan shalat berjamaah?” Beliau menjawab, “Aku mendengar hayya ‘alash shalaah, jika kalian bisa maka datanglah, walaupun harus dengan cara merangkak.”
Beliau punya pilihan untuk tetap shalat di rumah karena kelumpuhannya. Namun, yang dipilih adalah tetap berjamaah dengan meminta bantuan orang agar dipapah ke masjid. Luar biasa bukan? Seoalah-olah cacat yang sedang didera, sama sekali tidak menghalangi semangatnya untuk pergi ke masjid menunaikan shalat berjamaah. Lalau bagaimana dengan kita yang tak cacat, sehat dan masih kuat?
(MBS)