Pada momentum Hari Guru ini, saya teringat dengan bacaan saya di majalah lawas terkait ketawadhu’an KH. Imam Zarkasyi, salah satu pendiri Pondok Pesantren Darus Salam Gontor.
Pada hari Senin 8 Syawwal 1387 (8 Januari 1968), Buya Hamka bersama dua anaknya berkunjung ke Gontor. Berita ini dimuat majalah Panjimas No. 26 dengan tajuk “Mengundjungi Pondok Moderen Darussalam Gontor”. Kelak anak Hamka yang bernama Afif dipondokkan juga di Gontor.
Ada banyak cerita yang bisa diulas dari perjalanan Buya ke Gontor pada tahun 1968 itu. Di antaranya adalah mengenai ketawadhu’an KH. Imam Zarkasyi.
Hamka bercerita, bahwa Prof. Mahmud Junus (Yunus) pernah mengatakan terkait KH. Imam Zarkasyi, “Aku jang mengadjarkan segala tiori ini kepada muridku Djarkasji di Padang dahulu. Tetapi aku sendiri tidak dapat melaksanakan. Dia telah dilaksanakan oleh muridku. Aku bangga sekali.”
Ketika berita ini sampai kepada KH. Imam Zarkasyi, malah beliau mengingatkan kisah dua pengarang ilmu Nahwu yang terkenal yaitu Ibnu Malik dan Ibnu Mu’thi.
Dalam syair rajaznya, Ibu Malik dalam Alfiyahnya tak melupakan sang guru (Ibnu Mu’thi):
وتقتضي رضا بغير سخط … فائقة ألفيّة ابن معطي
وهو بسبق حائز تفضيلا … مستوجب ثنائي الجميلا
Inti maknanya kata KH. Imam Zarkasyi: Ibnu Mu’thi lebih berhak dapat pujianku, sebab dia yang memulai lebih dahulu.
Di sini, Hamka melihat betapa tawadhu’nya KH. Imam Zarkasyi. Sehabat apapun capaian yang digapainya, tidak pernah melupakan jasa gurunya H. Mahmud Yunus. Sebagaimana sikap Ibnu Malik terhadap gurunya yang bernama Ibnu Mu’thi.
*****
Pesan penting dari kisah ini adalah tetap berendah hati dan jangan melupakan jasa guru. Mereka adalah para pejuang tanpa pamrih yang berhasil menanamkan nilai-nilai luhur kepada muridnya.
Bagi yang masih menjadi murid dan terus belajar hingga akhir hayat, ingat pesan Imam Syafi’i dalam Diwannya berikut:
اِصبِر عَلى مُرِّ الجَفا مِن مُعَلِّمٍ
فَإِنَّ رُسوبَ العِلمِ في نَفَراتِهِ
وَمَن لَم يَذُق مُرَّ التَعَلُّمِ ساعَةً
تَذَرَّعَ ذُلَّ الجَهلِ طولَ حَياتِهِ
Sabarlah kamu akan pahitnya seorang guru.
Sebab, mantapnya ilmu karena banyaknya guru.
Barang siapa tak sudi merasakan pahitnya belajar,
ia akan bodoh selama hidupnya.
(MBS)