Di antara hal yang oleh kebanyakan orang dipandang biasa, tapi dalam Islam disebut sebagai indikator keimanan adalah: memuliakan tetangga.
Hadits masyhur terkait hal ini adalah sebagai berikut:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia memuliakan tetangganya,” (HR. Bukhari, Muslim)
Dalam hadits lain, Nabi bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ
“Barangsiapa berimana kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia mengganggu tetangganya,” (HR. Bukhari, Muslim) Al-Walid Al-Baji dalam kitab “Al-Muntaqa” menjelaskan bahwa hadits ini menerangkan tentang memuliakan tetangga dan berinteraksi secara baik dengan tetangga. Hal ini merupakan bagian dari keimanan.
Masih menurut beliau, orang yang mengaku beriman kepada Allah dan ganjaran atau pahala di akhirat, maka dia harus menjalankan pesan ini secara istiqamah karena Allah berfirman dalam Al-Qur`an:”Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,” (QS. An-Nisa [4]: 36)
Terkait tetangga, Nabi juga pernah bersabda, “Jibril senantiasa mewasiatkanku untuk berbuat baik terhadap tetangga sehingga aku mengira tetangga juga akan mendapatkan harta waris.” (HR. Bukhari) Ini menunjukkan betapa pentingnya –dalam Islam–memuliakan tetangga. Tidak mungkin jibril secara kontinyu memberi wasiat kepada Rasulullah jika itu tidak penting.
Ulama nusantara bernama Abu Bakar Atjeh, dalam artikelnya di majalah Gema Islam No. 34 (1963), menukil cerita-cerita sangat mengharukan bagaimana generasi shaleh terdahulu amat peduli pada tetangga. Bahkan, kepeduliannya sampai pada taraf memprioritaskan kebutuhan tetangga melebihi diri sendiri.
Suatu hari Tsabit bin Qais datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengeluh lapar. Lalu, beliau menanyakan kepada para istrinya apa ada makanan yang bisa diberikan untuk Tsabit. Rupanya cuma ada air dingin. Demikian juga di rumah istri Nabi yang lain tidak ada apa-apa. Melihat kondisi demikian, maka Nabi menawarkan kepada para sahabat siapa yang bisa memberi makan Tsabit bin Qais.
“Saya wahai Rasulullah!” kata Thalhah menawarkan bantuan. Kemudian diajaklah Tsabit ke rumahnya. Ketika sampai di lokasi, Thalhah bertanya kepada sang istri ada apa di rumah yang bisa disuguhkan. Rupanya hanya sepiring bubur. Itu pun jatah untuk anaknya. Akhirnya, anak-anak disuruh cepat ditidurkan dan bubur itu pun diberikan kepada Tsabit. Padahal, keduanya bahkan anaknya belum makan. Keesokan harinya, saat Thalhah bertemu Rasulullah, beliau berkata, “Perbuatanmu itu sangat menakjubkanku.”
Bayangkan! Begitu luar biasanya kepedulian dan penghormatan mereka kepada tetangga. Padahal, mereka sendiri juga sangat membutuhkan. Hal seperti ini, banyak sekali contohnya pada zaman Rasulullah. Semua adalah cermin keimanan seseorang kepada Allah dan Hari Akhir. (MBS)