Sempat viral pernyatakaan salah satu tokoh militer di negeri ini yang bunyinya demikian: “Tuhan bukan orang Arab. Maka saya berdoa bukan dengan bahasa Arab.” Benarkah pernyataan ini jika dipandang dari sudut agama Islam? Berikut akan diuraikan jawabannya.
Ada kerancuan permis yang dibangun dari kalimat tersebut. Sehingga, konklusinya pun bisa berujung kepada kesalahan atau kekeliruan.
Pertama, Tuhan bukan orang Arab. Memang Tuhan itu bukan orang atau manusia. Bahkan, dalam Islam Allah tidak sama dengan makhluk-Nya. Dalam Al-Qur`an disebutkan:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syura [42]: 11)
Dalam tafsir As-Sa’di disebutkan tafsirnya: “Maksudnya tidak ada satupun dari makhluk-Nya yang menyerupai dan menyamai Allah. Baik itu pada zat, nama, sifat dan perbuatan-Nya.” Maka, sangat lucu bila diungkapkan Allah bukan orang Arab. Bukan hanya bukan orang Arab, tapi memang Allah sama sekali bukan orang dan berbeda dengan makhluknya. Dengan demikian permis yang dibangun ini sudah patah sejak awal.
Kedua, maka saya tidak berdoa dengan bahasa Arab. Pernyataan ini tidak bisa diterima secara keseluruhan. Di dalam Islam, ada ibadah yang disebut “mahdhah” dan “ghairu mahdhah”.
Ibadah mahdhah itu adalah ibadah murni yang tata cara dan teknisnya sudah ditentukan oleh Allah dan tidak boleh diubah-ubah. Misalkan: azan dengan bahasa Arab, shalat menghadap kiblat, shalat doa dan bacaannya dengan bahasa Arab dan contoh lainnya. Intinya, ibadah ini tidak bisa diubah.
Adapun yang “ghairu mahdhah” atau ibadah yang tidak ditentukan cara dan teknisnya, maka dalam masalah ini manusia dibenarkan untuk berkreasi selama tidak ada yang menyalahi syariat. Dari titik ini misalnya: di luar shalat (yang merupakan ibadah mahdhah) dibolehkan berdoa dengan bahasa masing-masing daerah atau negara. Demikian juga, khubah Jum’at misalnya, tidak harus menggunakan bahasa Arab, tapi boleh menggunakan bahasa masing-masing daerah.
Dengan demikian, premis kedua pun tidak bisa diterima mentah-mentah. Orang yang mengerti agama Islam, tidak akan memukul rata bahwa doa harus dengan bahasa masing-masing yang dilakukan sebebas-bebasnya. Sebab, di sana ada ranah yang sudah ditetapkan oleh Allah yang mengharuskan berbahasa Arab dan ada juga wilayah yang manusia diberi kebebasan memilih.
Orang yang mengucapkan kalimat tersebut, menunjukkan bahwa ia kurang mengerti nilai-nilai dan syariat Islam. Di dalamnya dicampur aduk antara domain agama dan domen budaya. Sehingga, konklusinya menjadi bermasalah dan bisa menyesatkan publik. Kita boleh mencintai budaya masing-masing. Bahkan dalam ushul fikih ada kalusul “adat bisa dijadikan hukum” selama tidak menentang nash. Tetapi, bukan berarti mencampuradukkan antara agama dan budaya.
Pada akhir tahun 70-an, Buya Hamka menulis dalam rubrik “Dari Hati ke Hati” majalah Panjimas (268: XX/1979) suatu tajuk berjudul “Kebudayaan Arab”. Tulisan ini lahir karena pada akhir 70-an ada pejabat yang alergi dengan bahasa Arab. Sehingga ajaran salam pun mau diubah olehnya dengan bahasa yang dimengertinya. Ia sudah tidak mau memulai dan menutup acara dengan salam Islam yang berbahasa Arab. Padahal, dia adalah orang Islam.
Kata Buya, ini merupakan kekacauan berpikir. Sebab, salam itu bukan kebudayaan Arab tapi adalah ajaran Islam. Dan ini juga diterima dan dilaksanakan oleh setiap muslim di seluruh dunia.
Sebelum Islam, orang-orang Arab malah salamnya tidak dengan “Assalamu ‘alaikum”. Mereka biasa mengucapkan salam dengan kalimat yang artinya: “Selamat Pagi”, “Selamat Petang” dan lain sebagainya. Maka orang yang memberi cap “kebudayaan Arab” terhadap ajaran Islam, seperti salam, maka ini menggambarkan betapa picik dan sinisnya kepada pengaruh Islam di negeri ini.
Dulu sebelum kemerdekaan, kata Buya Hamka ada juga gerakan penjajah yang ingin menghidupkan kebudayaan asli dengan maksud menyingkirkan ajaran “Assalamualaikum” dengan “Salam Bahagia” dan “Salam Raya”. Itu semua dilakukan karena benci kepada ajaran salam Islam yang berbahasa Arab.
Melihat fenomena demikian, ada pernyataan yang menukik dari Buya Hamka, “Kadang-kadang ‘kebudayaan’ kita ini menjadi kebudayaan ‘campur aduk’, atau ‘kebudayaan rujak’; pengaruh Bahasa Arab harus dikikis, tetapi pengaruh bahasa asing lain yang bukan Arab jangan….!” Maksudnya jangan dikikis dan biarkan saja asal tak berbau Arab.
Pelajaran yang didapat dari kisah ini, terutama bagi yang beragama Islam, adalah harus berhati-hati dalam berkata-kata utamanya jika terkait nilai-niliai ajaran Islam yang dikaitkan dengan budaya. Berbicara harus berdasarkan ilmu, bukan hawa nafsu. Nanti, kalau tidak berdasarkan ilmu, maka omongannya akan ngawur dan nantinya akan malu sendiri. (MBS)