Ada yang menarik dari tema yang disampaikan oleh Ustadz Syukron dalam khutbahnya di Masjid Ar-Rayyan, Taman Pulo Indah, Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur (17/12/2021), yaitu membahas tentang: ilmu dan adab.
“Mana yang lebih dulu antara ilmu dan adab?” beliau mulai dari sebuah pertanyaan yang biasa diberdebatkan oleh kebanyakan orang. Rupanya, pertanyaan ini kata Ustadz Syukron kurang tepat, sebab kalau membaca keterangan hadits, ternyata tidak ada dikotomi antara keduanya alias keduanya berjalan beriringan.
Oleh karena itu, orang berilmu tapi tidak beradab, ini tercela; sedangkan orang yang beradab tapi tak berilmu ini lebih parah lagi. Keduanya seharunya saling berkelindan dan berjalan seimbang.
Ada beberapa hadits dan cerita yang beliau jadikan argumentasi. Yaitu di antaranya hadits panjang berikut ini yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu:
“Dahulu kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu datanglah seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan. Tidak seorang pun dari kami mengenalnya, hingga dia mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam lalu menyandarkan lututnya pada lutut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia berkata: ‘Wahai Muhammad, kabarkanlah kepadaku tentang Islam?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Kesaksian bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan puasa Ramadlan, serta haji ke Baitullah jika kamu mampu bepergian kepadanya.’ Dia berkata: ‘Kamu benar.’ Umar berkata: ‘Maka kami kaget terhadapnya karena dia menanyakannya dan membenarkannya.’ Dia bertanya lagi: ‘Kabarkanlah kepadaku tentang iman itu?’ Beliau menjawab: ‘Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk.’ Dia berkata: ‘Kamu benar.’ Dia bertanya: ‘Kabarkanlah kepadaku tentang ihsan itu?’ Beliau menjawab: ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ Dia bertanya lagi: ‘Kapankah hari akhir itu?’ Beliau menjawab: ‘Tidaklah orang yang ditanya itu lebih mengetahui daripada orang yang bertanya.’ Dia bertanya: ‘Lalu kabarkanlah kepadaku tentang tanda-tandanya?’ Beliau menjawab: ‘Apabila seorang budak melahirkan (anak) tuan-Nya, dan kamu melihat orang yang tidak beralas kaki, telanjang, miskin, penggembala kambing, namun bermegah-megahan dalam membangun bangunan.’ Kemudian dia bertolak pergi. Maka aku tetap saja heran kemudian beliau berkata: ‘Wahai Umar, apakah kamu tahu siapa penanya tersebut?’ Aku menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Beliau bersabda: ‘Dia adalah Jibril, dia mendatangi kalian untuk mengajarkan kepada kalian agama kalian.” (HR. Muslim)
Berdasarkan hadits ini jelaslah bahwa antara adab dan ilmu harus beriringan. Sebab, jibril yang berubah bentuknya menjadi manusia mengajarkan adab dalam mendatangi majelis ilmu dengan pakaian rapi, putih bersih dan rambut hitam tersisir rapi. Ini menunjukkan pentingnya adab.
Ibnu Qudamah menjelaskan, dekatnya jibril dengan Nabi juga menunjukkan adab dalam majelis ilmu, yaitu: penuntut ilmu harus mendekat ke sumber ilmu langsung. Apa yang dibenarkan oleh Jibril terkait iman, islam, ihsan dan tanda-tanda kiamat yang dijelaskan Nabi adalah bagian dari ilmu. Sehingga antara ilmu dan ada berjalan beriringan.
Dengan demikian, sungguh ironis jika ada anak merasa punya ilmu, tapi mengingatkan orang tuanya dengan cara kasar bahkan membid’ahkan hingga mengkafirkannya. Dalam hal ini dia kehilangan adab dan perlu membuka kembali bab adab.
Ustadz Syukron juga menjelaskan bahwa mecegah kemungkaran bukan sekadar dasar ilmu saja, tapi juga beriring adab. Contohnya, suatu hari ada orang arab kampung atau badui kencing di pojokan masjid. Melihat itu, banyak sahabat naik pitam dan hampir menghajarnya. Namun dicegah oleh Rasulullah.
Seusai kencing, orang kampung itu dipanggil dengan baik atau lemah lembut oleh Rasulullah dan diberitahu bahwa masjid bukan tempat kencing dan harus disucikan. Orang itu menginsafi kesalahannya dan menerima nasihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini menunjukkan bahwa ilmu perlu beriring adab.
Pada akhir khutbahnya beliau mengingatkan sekali lagi, jangan lagi ada pendikotomian atau pemisahan antara adab dan ilmu. Sebab, keduanya harus berjalan seimbang sebagaimana yang telah diteladankan oleh junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. (MBS)