Setiap akhir tahun, tema yang tak bosan-bosannya dibahas atau diperbincangkan di jagad media adalah masalah seputar ucapan Selamat Natal, Selamat Tahun Baru dan toleransi.
Dalam internal umat Islam pun, hukum mengenai mengucapkan Selamat Natal juga terbelah. Ada yang berpendapat haram karena di antara alasannya adalah ini urusan akidah dan dilarang tasyabbuh dengan umat lain. Ada juga yang membolehkan karena ini bukan ranah akidah tapi mu’amalah (interaksi sosial) yang selama tak menabrak batas-batas agama, maka dibolehkan.
Terkait hal ini pula, terkadang nama-nama ulama Islam Indonesia ditarik-tarik seperti Buya Hamka. Ada yang memukul rata alias menjeneralisasi bahwa beliau membolehkan ucapan Selamat Natal, dan itu diamini oleh salah satu cucunya, bahwa fatwa tentang Natal yang dulu membuat Hamka keluar dari MUI bukan masalah ucapan Selamat Natal, tapi ikut merayakan natal.
Lucunya, saya pernah mengkonfirmasi kepada cucu lain dari Buya Hamka, tidak dipukul rata seperti itu. Katanya, kalau pun Hamka mengucap, itu sebatas interaksi sosial, dan itu juga tidak dilakukan secara terang-terangan laiknya para pembela pembolehan ucapan Selamat Natal. Hamka tetap tegas, bahwa meski harus dipegang nilai toleransi tapi jangan sampai mengorbankan akidah.
Kalau berbicara toleransi dalam Islam, setidaknya ada dua hal yang penting diangkat dalam tulisan ini. Pertama, toleransi itu bukan memaksa. Dalam Al-Qur`an sudah dijelaskan secara gamblang:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)
Islam adalah agama yang sangat toleran. Salah satu wujud toleransinya adalah tidak memaksakan agama Islam ke pemeluk agama lainnya. Maka sangat lucu dan aneh, bagi orang yang menggembor-gemborkan toleransi, apalagi dia beragama Islam, membenarkan tindakan pemaksaan memakai atribut natal misalnya kepada orang muslim, atau membuat statemen tendensius bahwa yang tidak mengucapkan Selamat Natal adalah intoleran, kadrun, bahkan radikal.
Kedua, toleransi bukanlah menghormati atau menghargai agama lain. Masing-masing agama meyakini agamanya paling benar. Ini tidak masalah dan wajar. Meskipun berbeda, tapi kita atas nama toleransi membiarkan mereka mengekspresikan kebebasan beragama. Terkait hal ini, ayatnya sangat jelas:
قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡكَٰفِرُونَ ١ لَآ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ ٢ وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ ٣ وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٞ مَّا عَبَدتُّمۡ ٤ وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ ٥ لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ ٦
- Katakanlah: “Hai orang-orang kafir
- Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah
- Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah
- Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah
- dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah
- Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS. Al-Kafirun [109]: 1-6)
Perhatikan ayat ini, terutama ayat terakhir. “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.” Sebuah ungkapan mempersilakan, bukan membenarkan atau menghormati agama lain, tapi membiarkan mereka sesuai dengan keyakinan yang dipegang, dan muslim pun demikian dibiarkan meyakini keyakinan masing-masing dan tidak ikut-ikutan ritual mereka.
Di antara sababun-nuzuul (sebab turun) surah ini adalah orang kafir menego Nabi untuk bergantian beribadah sesuai dengan agama masing-masing. Dan itu ditolak dengan tegas melalui ayat-ayat dalam surah Al-Kafirun. Antara haq dan bathil itu berbeda; antara mukmin dan kafir itu bertentangan nilai-nilainya. Tapi bukan berarti memaksakan kehendak, tapi mempersilakan orang yang lain agama untuk menjalankan agama sesuai keyakinannya.
Allah Ta’ala juga mempersilakan:
وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ ۖ فَمَن شَاءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۚ وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ ۚ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا
“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. ” (QS. Al-Kahfi [18]: 29)
Perhatikan ayat tersebut! Orang mau beriman atau kafir dibiarkan oleh Allah. Tapi, Dia juga memberikan keterangan bahwa yang haq (benar) adalah dari Allah. Meski, manusia dibiarkan kafir, tapi ia harus siap juga menghadapi risiko dari pilihannya.
Dari sini jelaslah, bahwa tidak mengucapkan Selamat Natal bukan berararti tidak toleran; atau sebaliknya yang mengucapkan pasti toleran. Karena toleransi dalam Islam, di antaranya terletak pada : Pertama, tidak memaksakan agama sendiri ke orang lain. Kedua, mempersilakan pemeluk agama lain menjalankan agamanya. (MBS)