Kemenangan Indonesia atas Malaysia (4:1) dalam Piala AFF pada Ahad malam (19/12/2021) menginspirasi penulis untuk menulis tema “Sepak Bola dan Dakwah”.
Tiba-tiba saya teringat dengan sosok pemain legendaris Indonesia bernama Djamiat Dalhar (1927-1979). Pesepak bola yang berasal dari Muhammadiyah yang mengawali debutnya pertama kali dalam Kesebelasan Hizbul Wathan di Yogyakarta. Sampai kemudian menjadi pemain andalan PSSI pada tahun 1953-1959.
Dalam catatan Budayawan Ridwan Saidi dalam majalah Panji Masyarakat (1984) ada kisah heroik bagaimana Djamiat Dalhar dan kawan-kawan Timnas Indonesia bisa menahan imbang Rusia dalam Olimpiade Melbourne (1956). Banyak orang kemudian menyebutnya sebagai “The Battle of Melbourne” atau “Brathayuda Melbourne”.
Waktu itu ada tiga pemain andalan Timnas Indonesia yang boleh dikatakan trio tangguh, yaitu: Djamiat, Ramang dan Sian Liong. Kata Ridwan Saidi, “Bisa jadi merupakan trio tertangguh yang pernah kita miliki.”
Dalam buku Apa dan Siapa terbitan Tempo (1981-1982: 105) disebut bahwa Djamiat dan Ramang punya kecepatan dan tembakan keras. Sedangkan Tee San Liong adalah pemain yang jago mengumpan.
Kita kembali kepada sosok Djamiat Dalhar. Beliau adalah anak dari Mohammad Dhalhar BKN (Bekas Ketua PP Muhammadiyah Majlis Tabligh). Jadi ia berasal dari kalangan Muhammadiyah. Bapaknya sendiri adalah pemain bola trio Ps. HW. Yogyakarta.
Bakat sepak bolanya sudah terlihat sejak kecil. Ia pernah main di bond VBDO (1933) dan Ps. Jor Junior. Para pemainnya terdiri dari anak-anak kampung Kauman sekitar Masjid Besar Yogyakarta. Saat itu, anak-anak kauman terkenal sebagai anak nakal.
Kondisi demikian membuat anggota Ps JOR Junior yang kebanyakan terdiri dari anggota Pemuda Muhammadiyah mendapat tugas untuk menghilangkan cap “anak nakal” dari anak Kauman. Maka mereka berdakwah dan berusaha menyalurkan kenakalan anak muda di situ dengan bermain bola. Waktu itu pelatihnya bernama Aswad Arifin.
Dhalhar muda waktu itu bersama-sama kawan-kawan dites oleh pelatih dalam suatu pertandingan agar mau menyerah kalah dengan imbalan uang. Dengan mantap dia menjawab, “Kami harus menang sebanyak-banyaknya dengan segala kemampuan kami.” Artinya sejak menjadi pemain muda sudah ditanamkan kepada mereka nilai-nilai dakwah dan bagaimana menjaga intregitas pemain.
Di kemudian hari Djamia Dalhar juga menjadi pelatih yang dikenal keras dan disiplin dalam mendidik tim asuhannya. Bahkan untuk menunjangnya beliau juga menulis buku tentang sepak bola. Di antara kata-kata yang disampaikannya kepada anak asuhannya adalah:
“Sepakbola adalah permainan laki-laki. Karenanya bekal bagi seorang laki-laki harus dipelajari. Ketangkasan, heroisme, keberanian, harga diri dan berakhlak baik.” Uniknya memang saat menjadi pemain, pak Djamiat ini memegang teguh akhlak yang luhur dan jarang dijumpai berbuat nakal dan curang dalam permainan.
Membaca karir perjalanan Djamiat Dalhar menggambarkan bahwa Sepak Bola pun bisa dijadikan sarana dakwah dan menanamkan akhlak mulia. Sejak kecil dia menanamkan intregitas, sportifitas dan komitmen dengan nilai-nilai luhur dakwah.
Di level dunia misalnya kita kenal Moh. Salah. Mungkin banyak yang mengenalnya sebatas pemain bola. Padahal sejatinya juga berdakwah dengan caranya. Setiap berhasil menjebol gawang lawan, ia sujud syukur. Sosoknya menyenangkan dan rendah hati. Tak mengherankan jika ada fans sepak bola yang awalnya benci Islam kemudian jadi muallaf karena Moh. Salah.
Dari Djamiat Dhalhar dan Moh. Salah kita bisa mengambil teladan yang sangat baik bahwa di dalam sepak bola pun kita bisa berdakwah dengan akhlak mulia dan kepribadian yang penuh keteladanan. (MBS)