MASALAH akhir tahun yang acap kali menuai banyak kontroversi di kalangan umat Islam adalah masalah mengucapkan selamat natal. Yang satu berpendapat bahwa hal itu hukumnya haram. Sedangkan yang lain berpandangan mubah. Akar dari perbedaan yang kontradiktif ini adalah ketiadaan nash tegas yang membahas masalah ini.
Di antara ulama yang mengharamkan adalah Syaikh Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Ibnu Utsaimin dan semacamnya. Sementara yang membolehkan seperti Dr. Yusuf al-Qardhawi, Ali Jum`ah, Quraish Shihab dan lain-lain.
Alasan pihak yang mengharamkan setidaknya ada lima. Pertama, Masalah natal sudah masuk dalam aturan dan syariat (QS. Al-Ma`idah [5]: 48). Kedua, bagian dari menyerupai kaum lain yang dilarang oleh hadits Nabi. Ketiga, umat Islam sudah memiliki hari yang dirayakan tersendiri sehingga tak perlu berpartisipasi mengucapkan selamat Natal.
Keempat, syariat mengucapkan selamat sudah ada garis tuntunannya dalam syariat. Kelima, dampak negatif ucapan selamat lebih besar daripada positifnya. Dalam kaidah fikih ada istilah “menolak kerusakan lebih didahulukan daripada menarik manfaat.”
Adapun pihak yang membolehkan beralasan dengan dalil-dalil berikut: Pertama, ucapan selamat natal berdasarkan Al-Mumtahanah [60] ayat 8, sebagai bentuk perbuatan baik dan perlakuan adil kepada orang kafir dzimmi. Kedua, selama tidak mengikuti peribadatannya, maka dibolehkan mengucapkan selamat hari natal. Karena ucapan selamat tak mengharuskan mengakui keyakinan.
Ketiga, ucapan selamat natal adalah masuk wilayah mu`amalah. Dalam kaidah fiqih, terkait masalah mu`amalah maka harus ada larangan. Karena tidak ada larangan secara tegas mengenai ucapan natal, maka hukumnya kembali pada asal, yaitu boleh. Keempat, ucapan natal adalah salah satu bentuk toleransi beragama. Kelima, Nabi Isa sendiri dalam surah Maryam ayat 33, mengucapkan selamat atas kelahirannya. Itu artinya tak mengapa mengucapkan selamat natal.
Sebenarnya, jika masing-masing menyadari bahwa masalah ini masih debatable dan yang dicari adalah kebenaran, insya Allah tak terjadi saling vonis, bully, caci maki dan merasa paling benar.
Apalagi jika ulama Indonesia bisa berkumpul untuk melakukan kajian mendalam terkait masalah ini sehingga bisa menawarkan solusi yang mencerahkan bagi problem tahunan umat ini agar umat tak gampang terprovokasi dan diadu domba oleh pihak yang tak suka dengan persatuan umat Islam.
Kalau melihat contoh dari figur bapak bangsa, masalah demikian kiranya sudah tak perlu diributkan lagi. Mohammad Natsir misalnya, dalam pendirian yang menyangkut hal prinsipil menyangkut hubungan dengan agama lain beliau sangat tegas. Namun, dalam hal yang menyangkut hubungan sosial-kemanusiaan yang tak menyentuh hal prinsipil, beliau sangat toleran.
Dalam buku “100 Tahun Mohammad Natsir” (2008: 69), menurut cerita Aktivis Petisi 50 Chris Siner Key Timu, Natsir yang muslim, sangat akrab dengan Kasimo yang beragama Katolik. Kedekatannya bukan hanyak dalam bidang politik, namun dalam interaksi sosial pun demikian. Apalagi rumah keduanya pada waktu tidak berjauhan. Natsir tinggal di jalan Tjokroaminoto, sedangkan Kasimo di jalan Gresik.
Pada momen Natal, Natsir selalu berkunjung ke rumah Kasimo. Tentu tanpa harus mengorbankan keyakinan masing-masing. Kasimo pun begitu, pada momen Idul Fitri beliau berkunjung ke rumah Natsir. Mereka tetap berpegang teguh pada prinsip masing, tetapi tetap akrab dan toleran terhadap hal yang tak melanggar keyakinan. (MBS)