Tidak semua sahabat Rasulullah SAW kaya seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, atau Thalhah bin Ubaidillah. Bukan tak mau kaya atau karena benci harta. Tapi hidup zuhud adalah sebuah pilihan.
Memilih hidup zuhud, sederhana, atau tak ingin punya apa-apa, adalah jalan hidup. Demi kehidupan akhirat yang dipastikan lebih baik dari dunia dan isinya. Seperti halnya Salman Alfarisi, Saad bin Abi Waqqash, atau Mush’ab bin Umair. Ketiganya adalah anak dari kaum terhormat lagi kaya raya. Namun mereka meninggalkan kenyamanan, kehidupan mewah, dan serba wah. Mereka jauh dari kekayaan demi memilih hidup sederhana.
Saad bin Abi Waqqas berasal dari Bani Zuhrah dari suku Quraisy, anak yang sangat disayangi orang tuanya. Ibunya adalah seorang wanita bangsawan yang kaya raya.
Mush’ab bin Umair juga remaja Quraisy yang hidup di atas kesenangan dan kemewahan. Dia berasal dari keturunan terhormat di kalangan bangsa Quraisy. Parfumnya saja didatangkan dari negeri Syam, termahal di zamannya.
Parlente, kaya, muda, tampan, dan cerdas. Itulah sosok remaja Mush’ab bin Umair. Berkulit putih, bersih, dan rambutnya yang lurus dan indah selalu disisir rapi ke belakang. Tapi ia memilih hidup sederhana saja.
Salman Alfarisi juga lebih lagi. Ayahnya adalah pembesar agama Majusi, penyembah api. Namun, kemewahan tidak memberikannya kebahagiaan di atas iman dan jalan lurus. Dunianya ia jual untuk mencari kebenaran. Bahkan dirinya pun sempat dijual di pasar sebagai budak. Semua itu ia lakukan demi mencari kebenaran yang didengarkannya telah datang melalui Nabi yang mulia, Muhammad SAW.
Dari kisah ini jelas. Harta tak semuanya mendatangkan keselamatan. Beda halnya bagi Abdurrahman bin Auf, Utsman, dan Thalhah. Harta hanyalah alat untuk mencapai ridha Allah.
Lalu siapakah sang Gubernur miskin di antara mereka? Sang tokoh dalam kisah ini belum disinggung. Namanya Umair bin Saad. Dia adalah Gubernur Hims (Homs) Syiria yang disegani oleh Umar bin Khattab, ketika kekhalifahan berada di tangannya.
Umair bin Saad adalah sahabat Rasulullah SAW yang zuhud. Umair telah merasakan hidup yatim dan miskin sejak ia masih kecil. Bapaknya meninggal dunia tanpa meninggalkan harta warisan yang mencukupi.
Tetapi ibunya menikah kembali dengan seorang laki-laki kaya dari suku Aus, Al Julas bin Suwaid. Maka Umair ditanggung oleh Julas dan dikumpulkannya ke dalam keluarganya. Sejak itu Umair menemukan jasa-jasa baik Julas, pemeliharaan yang bagus, keindahan belas-kasih, sehingga Umair dapat melupakan bahwa ia telah yatim.
Dia seorang Ansar yang berbaiat kepada Nabi Muhammad ketika usianya masih belia, sekitar 10 tahun. Sahabat ahli ibadah dan selalu berada di barisan pertama ketika shalat. Dalam perang, ia mengejar barisan terdepan.
Gubernur Terbaik
Umair memang selalu menjauhi harta dan juga jabatan. Namun harta dan jabatan yang terus mengejarnya. Semakin ditolak, semakin merapat. Maka jadilah ia Gubernur. Hanya saja, fasilitas dan harta yang ia pegang tak pernah diambilnya.
Pada waktu khalifah Umar bin Khattab berhasil menaklukkan kota Hims, dia mengangkat gubernur di kota itu. Sebagian riwayat menyebutkan, beberapa gubernur sebelumnya, selalu dikeluhkan rakyat karena tidak amanah.
Maka sebelum pengangkatan Umair, Khalifah berkata:
“Aku ingin di kota ini ada seseorang yang tidak memperlihatkan diri sebagai pemimpin sekalipun dialah pemimpin. Jika pemimpin itu berada di tengah-tengah rakyatnya maka tak ada yang membedakan antara dirinya dengan rakyat yang dipimpinnya. Aku bermaksud mengangkat seorang pemimpin yang pakaiannya, makanannya, dan tempat tinggalnya tidak berbeda dengan kebanyakan orang.”
Calon gubernur yang dimaksud Umar bin Khattab ialah Umair. Semula, Umair menolak dengan halus agar khalifah tidak tersinggung, tetapi tak berhasil. Umar bin Khattab mantap memilih Umair.
Beberapa tahun menjabat gubernur Hims, Umair tidak pernah mengirim kabar kepada khalifah. Begitu pula setoran pajak yang seharusnya dilaporkan kepada khalifah tidak pernah beliau lakukan. Hal itu menimbulkan rasa penasaran khalifah.
Umar bin Khattab memerintahkan sekretaris pribadinya agar berkirim surat kepada Umair bin Saad agar segera menghadap khalifah.
Di dalam kitab “Baina Yaday Umar” dijelaskan detail peristiwa sejarah pertemuan antara Umair bin Saad sebagai gubernur Hims dengan Umar bin Khattab sebagai khalifah. Kisah ini juga dijelaskan detail dalam Kitab Shuwar min Hayaatis Shahabah.
Saat khalifah melintas di jalan kota Madinah, seorang lelaki berpakain kucel dengan raut muka kelelahan akibat perjalanan jauh. Langkah kakinya terseok-seok karena panjangnya rute perjalanan yang dilaluinya sekalipun semangatnya tak kunjung padam.
Di pundak kanannya tersangkut kantong perbekalan selama perjalanan. Di pundak kirinya tersangkut perigi berisi air. Sementara tangannya menggenggam tongkat kayu yang berfungsi sebagai penunjang badannya. Kemudian orang itu menghampiri tempat duduk di bawah pohon kurma yang biasa digunakan Umar bin Khattab untuk menjalankan roda kekhalifahannya.
“Assalamu’alaikum wahai Amirul mukminin,” kata lelaki itu.
Umar bin Khattab menjawab: “Wa’alaikumussalam” dan menyalami lelaki yang sangat dikenalinya itu.
“Bagaimana kabarmu?”
“Ya, seperti yang kamu lihat sendiri dari diriku ini.”
“Apa yang kamu bawa, wahai Umair!”
“Aku membawa perbekalan untuk perjalanan jauh ke mari.”
“Engkau datang kemari berjalan kaki, apakah sebagai seorang gubernur kamu tidak memiliki tunggangan?”
“Rakyatku tidak ada yang memberiku kendaraan, dan aku pun tak memintanya.”
“Apa yang engkau kerjakan setelah aku angkat menjadi gubernur Homs?”
“Aku kumpulkan pemuka-pemuka kota Hims, aku perintahkan mereka mengeluarkan zakat dan pajak anggota keluarga mereka yang mampu. Lalu aku pergunakan keseluruhannya untuk membangun dan memenuhi kebutuhan warga yang memerlukan. Tentunya kalau ada sisa aku setorkan kepadamu, wahai Khalifah!”
“Lantas apa masih ada sisa setoran pajak untuk Khalifah, hai Umair!”
“Sayang tidak ada, wahai Khalifah, sebab habis setelah telah aku bagikan kepada rakyatmu yang tak mampu.”
Mendengar penjelasan gubernurnya itu, Khalifah Umar tidak marah. Justru beliau berkata: “Aku perbarui kembali pengangkatan-mu menjadi gubernur Homs.”
Umair menjawab: “Mulai hari ini dan seterusnya aku tak mau lagi bekerja untukmu dan khalifah-khalifah sesudah-mu, wahai Umar!” (Aza/ Kemenag.go.id/ berbagai sumber)