Pandemi Covid-19 merenggut banyak korban jiwa dari masyarakat dunia hampir di semua pelosok negeri. Tak terkecuali di tanah air. Bahkan di lingkungan RT kita sendiri.
Wabah mematikan ini tak sedikit pula meninggalkan duka di kalangan para keluarga. Terlebih di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Tak sedikit di antaranya harus kehilangan masa depan anak-anaknya karena ditinggal ayah sang pahlawan pencari nafkah.
Tinggallah seorang janda dan anak-anak yatimnya yang harus menanggung nasib dan masa depannya. Mereka harus pontang panting demi menyambung hidup dan merencanakan ulang impian keluarganya yang pernah ada ketika sang ayah masih hidup.
Dari sisi pendidikan, kebutuhan hidup sehari-hari, hingga susu dan popok bayi sekali pun. Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian, di mana dan siapa saja janda-janda yang merasakan kesulitan seperti ini? Kalau di lingkungan kita tak ada, mungkin saja dia ada di sebelah kampung tempat tinggal kita.
Lalu siapa yang harus menanggung dan memberikan jaminan hidup bagi mereka yang berada dalam kesulitan? Selain negara, tentu semua memiliki tanggung jawab yang sama, terutama para kerabat, dan orang yang berkemampuan lebih.
Tibalah kita pada semua kisah yang patut menjadi pelajaran dan dipetik hikmahnya untuk ikut membebaskan mereka di dunia, dan agar kita terbebas pula di pengadilan akhirat. Dikutip dari buku berjudul: Golden Stories, Kisah-Kisah Indah dalam Sejarah Islam, karya Mahmud Musthafa Sa’ad dan Dr Nashir Abu Amir Al-Humaidi.
Syekh Athiyah Salim bercerita:
Pada suatu hari, pihak kepolisian menyampaikan pengaduan seorang janda. Ia memiliki beberapa anak yang masih kecil. Almarhum suaminya meninggalkan pesan tertulis dalam sebuah kertas. Ditulislah, ia memiliki upah yang belum dibayar oleh beberapa orang yang telah mempekerjakannya.
Polisi pun menghadirkan beberapa orang yang lalai menunaikan kewajibannya kepada almarhum. Namun mereka menyangkal gugatan itu. Bahkan siap diambil sumpah.
Satu saat, datanglah janda tadi ke pengadilan bersama anak-anaknya. Ia memang tak memiliki bukti selain catatan yang ditinggalkan suaminya. Pada persidangan pertama, janda dan lelaki tergugat pertama datang.
Aku (hakim atau qadi yang penuh kasih sayang yang bercerita ini) meminta panitera mencatatkan dakwaan. Aku dekati tergugat dan berdiskusi.
Aku tanya, “Tahukah kamu siapa penggugat dalam perkara ini?”
“Iya,” jawabnya, “pasti janda itu.”
Aku berkata, “bukan dia, tapi suaminya. Tahukah kamu di mana suaminya sekarang? Dia telah meninggal dan meninggalkan anak-anak yang masih kecil. Kamu memiliki tanggungan yang belum kamu tunaikan padanya. Kelak ia akan menuntutmu di hadapan Allah yang menanyai perihal gugatannya. Allah lebih tahu apa yang terjadi di antara kalian. Allah tidak butuh bukti apa pun untuk mengadilimu, karena tiada yang tersembunyi sesuatu pun daei-Nya. Siapa yang bisa menjamin kamu akan terbebas dari azab-Nya saat itu. Sekarang tunaikan kewajibanmu. Sekarang kesempatan terbaik bagimu, lebih baik dari hari itu di mana dirham dan dinar tak lagi berharga. Apa komentatmu atas gugatan janda itu?”
Lelaki itu berpikir sejenak, dan berkata, “Syekh, beri aku kesempatan untuk menjawab ya besok.
“Mengapa kamu meminta sampai besok?”
“Agar aku bisa menghitung ulang terhadap almarhum suaminya.”
Aku tahu apa yang akan dikatakan sesungguhnya dan aku beri waktu satu minggu. Hal sama juga aku sampaikan ke tergugat lain.
Pada hari yang ditentukan, semua tergugat mengakui kewajibannya yang belum ditunaikan kepada janda itu. Di antara tergugat ada uang membawa uang kontan dan langsung membayar si janda itu. Sebagai akan membayarnya akhir bulan.
Aku tak bisa lupakan kebahagiaan janda itu saat mengetahui perkaranya dimenangkan. Air matanya bercucuran. Dalam hati aku berucap:
“Adakah orang yang mampu berkomunikasi dengan sedekat ini dengan Allah, selain orang yang beriman yang jika disebutkan namanya akan bergetarlah hatinya.”
Beginilah kisah sang janda dan yatimnya untuk dipetik pelajaran darinya. Tak harus ke pengadilan. Tetapi mari mengetuk hati masing-masing akan kewajiban kita kepada para anak yatim dan janda-janda miskin. Kita kenal atau tidak. Di antara rezeki yang dianugerahkan Allah, ada bagian dan hak bagi mereka yang membutuhkan. Berikanlah sebelum kita ditanyai tetang kemana harta dibelanjakan dan kewajiban menyantuni anak-anak yatim serta fakir miskin di pengadilan akhirat nanti. Wallahu a’lam. (Aza)