Shalat berjamaah memiliki kemulian yang sangat agung dalam ajaran Islam. Meskipun terjadi perselisihan pendapat mengenai hukum shalat berjamaah, apakah wajib atau sunnah, hal itu tidak mengurangi urgensi dan substansi shalat berjamaah.
Banyak sekali dalil dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah mengenai perintah untuk shalat berjamaah. Bahkan beberapa di antaranya menunjukkan wajibnya shalat berjamaah di masjid. Namun, sekali lagi, tak perlu diperdebatkan bahwa ada pendapat lain yang menyatakan bahwa hukum shalat berjamaah adalah sunnah.
Banyak sekali orang yang datang ke masjid tetapi tidak memuliakannya dengan berdzikir, baca Al-Qur’an, belajar Islam, atau ibadah-ibadah tambahan lainnya. Banyak juga kita temukan orang-orang yang datang ke masjid untuk istirahat atau lainnya. Yang paling merugikan lagi, banyak di antara jamaah atau bahkan pengurus masjid, menunggu shalat isya di masjid usai shalat maghrib berjama’ah, namun waktunya habis membicarakan dunia.
Bahkan tal sedikit yang berbicara politik, membicarakan aib imam atau orang lain yang tidak disukai. Kita temukan juga tak sedikit yang mencela dan bahkan memfitnah golongan lain karena dianggapnya tidak sejalan dengan aliran yang dipahami.
Bukanlah ini tujuan masjid dan didirikannya shalat berjamaah. Seharusnya, begitu kaki menginjakkan pintu masuk masjid, tinggalkan semua utusan dunia. Lupakan aib orang lain, ingat aib diri sendiri saja, agar kita muhasabah dan bertobat. Gunakan waktu kosong di masjid dalam menunggu waktu shalat dengan zikir, baca quran, atau bertanya dan minta penjelasan tentang masalah agama kepada yang ahli.
Disebutkan dalam Surat An-Nur ayat 36-37, Allah SWT berfirman:
فِى بُيُوتٍ أَذِنَ ٱللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا ٱسْمُهُۥ يُسَبِّحُ لَهُۥ فِيهَا بِٱلْغُدُوِّ وَٱلْءَاصَالِ
36. Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang,
رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَٰرَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ وَإِقَامِ ٱلصَّلَوٰةِ وَإِيتَآءِ ٱلزَّكَوٰةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ ٱلْقُلُوبُ وَٱلْأَبْصَٰرُ
37. laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.
Tafsir pada ayat 36 di atas adalah, cahaya ini bersinar di masjid-masjid. Allah memerintahkan agar mengagungkan bangunan, penjagaan, dan pemakmurannya bagi orang-orang yang shalat; di dalamnya disebutkan nama Allah dengan azan, bacaan al-Qur’an, dan zikir-zikir berupa tasbih dan tahmid pada pagi dan sore hari yang memenuhi timbangan amal.
Ayat ke-37, maknanya, Allah memuji hamba-hamba-Nya yang memakmurkan masjid dengan dzikir dan shalat; keuntungan perdagangan tidak melalaikan mereka dari berdzikir kepada Allah dengan merendahkan suara atau mengeraskannya, dan tidak melalaikan mereka dari menjaga pelaksanaan shalat pada waktunya dan penunaian zakat bagi orang yang berhak menerimannya. (Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz Ta’dzhim al-Qur’an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor Fakultas al-Qur’an Universitas Islam Madinah)
Menurut As-Sa’di, makna ayat ke-36 di atas, maksudnya peribadahan karena Allah dilakukan “di masjid-masjid,” yang agung dan penuh keutamaan, ia adalah tempat yang paling Allah cintai, yaitu masjid-masjid “yang telah Allah perintahkan,” maksudnya Allah menyuruh dan memerintahkan “untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya,” dua hal ini merupakan himpunan hukum-hukum masjid. Termasuk tindakan memuliakannya adalah, membangunnya, menyapunya, membersihkannya dari segala najis dan kotoran, menjaganya dari orang-orang gila, anak-anak yang tidak bisa memelihara diri dari najis, dan dari orang kafir, serta harus dijaga dari perkara-perkara yang melalaikan, dan teriakan suara selain dzikir kepada Allah, “disebut nama-Nya di dalamnya,” termasuk dalam maknanya adalah seluruh shalat, baik yang wajib ataupun yang sunnah, membaca al-qur’an, bertasbih, tahlil, dan macam-macam dzikir yang lain, mempelajari ilmu dan mengajarkannya, saling mendiskusikan ilmu, iktikaf, dan ibadah-ibadah yang lain yang dilakukan di masjid.
Karenanya, memakmurkan masjid itu ada dua macam; memakmurkan bangunan dan pemeliharaannya secara fisik, dan menyemarakkannya dengan cara berdzikir kepada Allah yaitu dengan cara shalat dan yang lain. Yang terakhir inilah yang paling baik di antara keduanya. Oleh sebab itu, telah disyariatkan shalat lima waktu dan shalat jum’at di masjid, secara wajib menurut pendapat mayoritas para ulama, dan Sunnah menurut ulama yang lainnya.
Kemudian pada ayat ke-37, Allah SWT memuji hamba-hambaNya yang telah memakmurkan masjid-masjid-Nya dengan ibadah. Dia berfirman, ”Dia bertasbih kepada Allah,” secara ikhlas ”pada waktu pagi,” yaitu pada permulaan hari ”dan waktu petang,” penghujung siang, “laki-laki,” Allah mengkhususkan dua waktu ini karena kemuliaan keduanya, kemudahan dan kegampangan untuk beribadah kepada Allah pada dua waktu itu.
Termasuk dalam hal ini, bertasbih ketika shalat dan lainnya. Karena itu, disyariatkan dzikir pada waktu pagi dan sore hari dan wirid-wiridnya yang di baca di pagi hari dan sore hari. Pengertiannya, kaum lelaki bertasbih kepada-Nya pada waktu itu. Siapakah kaum lelaki yang dimaksud? Mereka bukanlah orang-orang yang lebih memperhatikan dunia (daripada Rabb mereka), yang memiliki kelezatan-kelezatan, perniagaan dan usaha-usaha yang menyibukkan (manusia) dari Allah, yaitu ‘(laki-laki) yang tidak dilalaikan oleh perniagaan,” ini mencakup setiap pekerjaan yang ditunjukkan untuk mencari timbal-balik, maka jadilah firman Allah, ”dan tidak (pula) oleh jual beli,” masuk dalam kategori ‘Athf al-khas ala al-am’ (menghubungkan kata yang khusus dengan jenis umumnya), karena banyaknya kesibukan dalam perdagangan daripada yang lainnya.
Walaupun para laki-laki itu berdagang dan jual-beli, yaitu menjalankan urusan yang tidak dilarang, akan tetapi perkara-perkara itu tidak melalikan mereka sampai menyebabkan mereka lebih mengutamakan dan mementingkannya daripada “mengingat Allah, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat,” bahkan mereka menjadikan ketaatan dan ibadah kepada Allah sebagai sasaran bidikan dan penghujung tujuan mereka.
Maka, setiap urusan yang menghalangi mereka dari tujuan mereka, niscaya akan mereka tampik. Tatkala menyampingkan dunia akan berat dirasa kebanyakan jiwa manusia, sementara kecintaan kepada pekerjaan dengan berbagai perniagaannya menjadi urusan yang disukai, maka sangatlah sulit untuk melepaskannya pada umumnya dan tertuntut untuk bekerja keras untuk mendahulukan hak Allah daripada itu, maka Allah menyebutkan sesuatu yang dapat merangsang kepadanya, sebagai bentuk ajakan sekaligus ancaman dariNya.
Allah berfirman, “mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang,” karena dahsyatnya kengerian dan membuat hati dan badan merinding dengan kejadian itu. Oleh sebab itu, mereka takut akan hari itu, hingga mudah bagi mereka untuk beramal dan meninggalkan sesuatu yang dapat menyibukkan dirinya. (Aza)
Sumber rujukan: Tafsirweb