Para ulama berbeda pendapat perihal bersentuhannya kulit perempuan dan laki-laki usai wudhu. Ada yang mengatakan wudhu batal, dan sebagian lainnya menyatakan tidak batal.
Berikut ini pendapat empat imam mazhab mengenai hukum tersebut. Dengan begitu, kita tak perlu saling menyalahkan atau menganggap diri paling benar karena para imam mazhab juga telah mendalami dan membahasnya, meski hasil berbeda-beda. Inti dari perbedaan ini adalah bukti kekayaan dan khazanah keilmuan dalam Islam.
1. Mazhab Syafi’i: Hukumnya batal secara mutlak (tanpa syarat). Ini termasuk dengan isteri sendiri.
2. Mazhab Maliki: Menyentuh kulit perempuan ajanabi membatalkan wudhu jika dengan tujuan `talazzuz’ (berlezat-lezat), atau mendapat kelezatan ketika bersentuhan.
3. Mazhab Hanafi: Menyentuh kulit perempuan ajnabi tidak membatalkan secara mutlak.
Mengapa mereka berselelisih pendapat? Ulama Syafi’i berdalilkan firman Allah Taala: “Atau jika kamu (lelaki) menyentuh (laamastum) perempuan.” (al-Maidah:6)
Mereka menafsirkan laamastum (mulamasah) pada ayat di atas- dengan maksud bersentuhan (al-lams). Hanafi menafsirkannya dengan jimak, bukan bersentuhan. Penafsiran mereka ini disokong oleh beberapa hadis riwayat Aisyah, katanya: Bahawa Rasulullah SAW mencium (atau mengecup) sedangkan baginda berpuasa, dan sabdanya: Sesungguhnya ciuman tidak membatalkan wudhu dan tidak membatalkan puasa (Riwayat Ishak bin Rahawiyah dan al-Bazzar)
Ada hadis lain riwayat al-Nasa’i dan Ahmada, juga dari Aisyah, katanya: Nabi mencium sebahagian dari isterinya kemudian dia keluar mengerjakan shalat, dan tidak berwudu lagi. (Aza)