Indonesiainside.id, Jakarta – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis wilayah Indonesia yang terbakar selama tahun 2019 ini seluas 857 Ha. Lahan-lahan tersebut tersebar di enam provinsi berbeda.
“Data KLHK mencatat luas karhutla dari Januari hingga September 2019 sebesar 857.756 ha dengan rincian lahan mineral 630.451 ha dan lahan gambut seluas 227.304 ha,” kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Bencana BNPB, Agus Wibowo, Selasa (22/10).
Kebakaran hutan membuat karbondioksida yang terlepas di udara meningkat. Hal ini pula yang memicu kualitas udara di berbagai daerah Indonesia masuk level berbahaya bagi kesehatan manusia. Ancaman penyakit ISPA atau infeksi saluran pernafasan atas mengancam, dan menjangkiti penduduk yang daerahnya terpapar kabut asap.
Di sisi lain, karhutla yang terjadi di Indonesia dan berbagai belahan dunia, ditambah lagi dengan aktivitas manusia yang mendorong naiknya gas rumah kaca akibat banyaknya karbondioksida di atmosfer turut mendorong pemanasan global. Udara yang bersih pun menjadi barang yang mahal.
Berbagai persoalan diatas mendorong beberapa siswa di SMA Pribadi Bilingual School Bandung mencari solusi dan ide kreatif. Salah satunya mengupayakan agar karbondioksida (CO2) yang terlepas di udara dapat diolah sedemikian rupa untuk menghasilkan udara segar.
Para siswa-siswi berkaca pada penelitian alat pemurni udara yang sudah ditemukan Pusat Teknologi Lingkungan – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (PTL-BPPT). Hanya saja bedanya, siswa-siswi membuat alat ini lebih minimalis.
Sabila Yasira dan Sasi Kirana Fadiya siswi kelas 10 SMA Pribadi Bilingual School membuat alat sederhana untuk mengubah CO2 menjadi O2 dalam waktu singkat melalui proses fotobioreaktor. Mereka memanfaatkan mikroalga Chlorella sp seperti yang sudah diterapkan oleh PTL-BPPT untuk menghasilkan udara (O2) melalui proses fotosintesis.
“Ide awalnya memang dari masalah yang ada di negara kita saat ini, dimana karhutla terjadi hampir saban tahun. Malah tahun ini sepertinya semakin parah. Dari karhutla CO2 yang dilepaskan sangat banyak, inilah yang membuat kami terdorong untuk mencari solusi agar proses fotosintesis yang terjadi pada tumbuhan bisa diaplikasikan dalam peralatan yang sederhana namun efektif,” ujarnya, Rabu(27/11).
Menurut Sabila, proses fotobioreaktor terjadi kala karbondioksida ditarik masuk ke dalam sebuah kotak yang di dalamnya diberi mikroalga Chlorella sp. Lantas, mikroalga akan melakukan proses fotosintesis untuk merubah CO2 menjadi O2. “Sehingga yang dihasilkan udara yang segar,” katanya.
Ditambahkan Sasi Kirana, alat yang mereka buat meski sederhana namun efektif, bahkan sama efektifnya dengan pemurni udara yang ada di pasaran. Bahannya juga tergolong mudah dan murah.
“Mikroalga ini banyak ditemukan di lahan-lahan atau sawah yang subur dan hijau,” ujar siswi yang ramah ini.
Ditambahkan pelajar berkacamata ini, tanpa ada karhutla secara alami di udara pencemarnya sudah banyak. Sebagai contoh dari aktivitas sehari-hari manusia, asap atau polusi kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil, pembakaran sampah, asap pabrik, asap rokok dan juga pencemar lainnya.
“Alam sudah menyediakan pengubah CO2 yakni tumbuh-tumbuhan, mereka lantas mengolahnya menjadi glukosa dan sekaligus melepaskan O2,” sambungnya.
Namun, karena aktivitas manusia yang melakukan penggundulan hutan dan juga kebakaran hutan serta lahan, jumlah karbondioksida yang diserap oleh hutan jadi berkurang sehingga infrared atau cahaya inframerah yang terlepas dari matahari ke bumi tidak bisa dipancarkan kembali ke angkasa. Karena, tertahan oleh banyaknya CO2 dan malah dipantulkan balik lagi ke bumi yang menyebabkan global warming atau pemanasan global.
“Alat ini meniru proses fotosintesis tumbuhan untuk menghasilkan O2. Satu sel mikroalga bisa berfotosintesis sendiri menghasilkan oksigen,” ujarnya.
Sabila menambahkan, miniatur alat yang dibuatnya bisa ditaruh mana saja meski ruangannya tidak terpapar sinar matahari. Hal ini dimungkinkan karena mereka telah membekali alat ini dengan spektrum cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis tumbuhan. Yakni spektrum cahaya merah dan biru.
Sementara itu Muhammad Budiawan S.Si, Projects Counselor, Pribadi Bilingual School Bandung menyatakan, pihak sekolah dalam hal ini mendorong anak didiknya untuk membuat solusi dengan pendekatan STEM yaitu Science, Technology, Engineering and Mathematics. Penguasaan STEM sangat berguna dalam menghadapi revolusi industri 4.0.
“Jadi dasar kegiatan ilmiah anak-anak di sini berawal dari moto kami yakni ‘semua berawal dari masalah’, seperti yang mereka buat yaitu soal masalah plastik, soal karhutla dan masalah lainnya,” ujarnya.
Ditambahkannya alat pengolah oksigen tersebut dapat digunakan di beragam tempat, seperti di apartemen, terowongan MRT, bahkan juga diaplikasikan di stasiun ruang angkasa. (EP)