Indonesiainside.id, Jakarta – Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kemenkominfo) bersama GNLD (Gerakan Nasional Literasi Digital) Siberkreasi dan mitra jejaring nya meluncurkan 58 buku kolaborasi Literasi Digital di Titik Temu Coffee, Seminyak, Bali.
Ada tujuh mitra jejaring yang berkolaborasi dalam peluncuran buku ini, yaitu CfDS (Center for Digital Society) Universitas Gadjah Mada, Common Room, Hipwee, Klinik Digital Universitas Indonesia, ICT Watch, MAFINDO, dan Relawan TIK.
Kegiatan tersebut diselenggarakan dengan tujuan agar masyarakat bisa menggunakan buku-buku Literasi Digital secara masif untuk pendidikan. Buku-buku Literasi Digital yang telah diluncurkan, bisa diunduh secara bebas dan gratis melalui situs literasidigital.id.
Berdasarkan Survei Indeks Literasi Digital Nasional Indonesia yang dilakukan oleh Kemenkominfo dan Katadata Insight Center pada tahun 2021, saat ini Indonesia masih menduduki kategori “sedang” dalam hal kapasitas literasi digital dengan nilai angka sebesar 3.49 dari 5.00. Oleh karena itu, Kemenkominfo berkolaborasi dengan Siberkreasi dan mitra-mitra meluncurkan 58 buku kolaborasi seri Literasi Digital.
Donny Budi Utoyo, selaku Dewan Pengarah Siberkreasi dalam keterangannya, Selasa (16/8) menyebutkan, toleransi yang ada saat ini adalah hasil dari tingkat literasi yang tinggi serta kebebasan berekspresi. Tingkat toleransi semakin tinggi jika apresiasi dan etika ini ada ketika berpendapat.
“Kebebasan berekspresi ini nggak bisa dipisahkan dengan etika dan toleransi. Mereka ini harus jadi satu. Jika tidak, bisa menimbulkan masalah bahkan bisa berujung ke ranah hukum. Alangkah indahnya jika ada perbedaan pendapat, ya diberikan juga tempat untuk berdiskusi secara baik,” ujarnya.
Buku-buku yang diluncurkan merupakan bentuk dari riset tentang perubahan-perubahan sosial yang disebabkan oleh transformasi digital. Termasuk tentang ekonomi digital yang menjelaskan tentang pemanfaatannya seperti apa, implikasi ke pemberdayaan perempuan dan inovasi digital apa yang terbentuk ketika COVID-19 terjadi.
“Buku yang kedua membahas tentang ketidaksetujuan kami dengan doxing. Apapun alasannya, perundungan di dunia maya bukan suatu hal yang bisa dijustifikasi. Dari situlah kami membahas kira-kira langkah apa yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan awareness dan mencegah cyberbullying,” kata Amelinda Kusumaningtyas dari CfDS (Center for Digital Society) Universitas Gadjah Mada (UGM).
Erni Sulistyowati selaku perwakilan dari Common Room, menjelaskan secara singkat tentang 10 buku yang dibuat dengan tujuan untuk membantu menurunkan kesenjangan digital di Indonesia. Ada buku yang membahas tentang peningkatan kapasitas di bidang teknologi informasi, pemanfaatan digital, kebijakan dan regulasi, serta tentang pembelajaran teknologi informasi dan layanan berbasis komunitas.
“Saya harap semoga buku ini ada dan terus berkembang mengikuti dinamika yang ada dengan kebutuhan yang ada di masyarakat. Semoga buku ini juga dapat berkontribusi untuk menyelesaikan kesenjangan digital di Indonesia, khususnya pedesaan dan daerah terpencil,” kata Erni.
Andreas Beni Rahadi dari Hipwee menjelaskan tentang buklet yang dibuat merupakan hasil kolaborasi dengan 6000 kreator di seluruh Indonesia.
“Ini refleksi dari mereka masing-masing, tentang kreator yang berani baik saat ini seperti apa,” ujarnya.
Sementara Indriyatno Banyumurti selaku ketua ICT Watch juga menjelaskan tentang karya yang dihasilkan berfokus pada edukasi menggunakan internet yang baik. Ada tiga buku yang membahas tentang #JagaPrivasi, Manajemen Strategi Komunikasi dalam mengelola media sosial selama pandemi, dan tantangan utama transformasi digital Indonesia yang berhubungan dengan DEWG (Digital Economy Working Group) G20 saat ini.
“Tantangan di Literasi Digital ini, adalah bagaimana semua orang mendapatkan pemerataan pengetahuannya. Dari buku-buku ini juga, kita bisa mengukur seberapa buruknya kita untuk menjaga privasi,” ujar Indriyanto.
Ada juga buku-buku yang dihasilkan oleh tim Jaringan Pegiat Literasi Digital (JAPELIDI), membahas tentang panduan dan bagaimana posisi perempuan di dunia daring secara cermat dan bermedia sosial secara bijak. Tim JAPELIDI membuat 15 buku yang terbagi menjadi buku kolaborasi, buku panduan, dan buku khusus yang mengajarkan empat pilar Literasi Digital.
Tim Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) ikut menjelaskan tentang buku berjudul “Membangun Resiliensi dalam Gejolak Pandemi”, yang membahas tentang kisah dan tantangan yang dialami oleh relawan ketika COVID-19 terjadi. Buku tersebut dibuat berdasarkan riset yang harapannya dapat menjawab masalah-masalah dan mendorong semangat kerelawanan.
“Tantangan kita tidak hanya soal pendidikan saja, tapi setiap daerah pasti punya tantangannya sendiri-sendiri. Tapi yang sering kita lihat, pandemi ini selain membuat krisis kesehatan, juga membuat kita harus bisa melakukan pembelajaran secara online atau jarak jauh yang biasanya kita lakukan secara offline,” jelas Nuril Hidayah.
Sesi ditutup dengan penjelasan oleh Mahabatis Shoba, Relawan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) tentang tiga buku yang dibuat. Ada yang bercerita tentang pemberdayaan di daerah, tentang pengabdian masyarakat dan “Netizen Beradab”. Dia menambahkan, jika kita punya kebebasan berpendapat dan berekspresi, kita juga harus punya barrier untuk beretika di dunia maya dan dunia nyata.
“Harapannya, bersama-sama nanti kita bisa launching buku-buku lainnya dan bisa disebarkan ke seluruh daerah dan dapat dibaca semua orang untuk bisa membangun kolaborasi,” tutupnya.
Adapun Informasi lebih lanjut mengenai kegiatan dan info literasi digital dapat diakses melalui media sosial Instagram @siberkreasi, @literasidigitalkominfo atau website info.literasidigital.id.(Nto/rls)