Indonesiainside.id, Washington – Perang, dimanapun adanya adalah sangat, sangat buruk bagi kemanusiaan. Tak peduli di belahan bumi mana itu terjadi. Yang jelas, perang harus jadi musuh bersama.
Namun, hal ini tidak terjadi pada sikap yang ditunjukkan oleh media-media utama (mainstream) Barat. Mereka rasis dan memilih-milih mana yang harus dibela atau diutamakan dalam pemberitaan.
Tentunya demi kepentingan atau keuntungan mereka sendiri.
Salah satu poin yang menjadi perhatian publlik dalam konflik di Ukraina adalah bagaimana media-media utama Barat memilih – milih konflik mana yang ingin diliput dan dijadikan headline-nya.
Outlet media Barat secara jelas-jelas dan terang benderang menyajikan liputan luas soal Ukraina. Hal yang sangat berbeda dengan konflik yang terjadi di negara belahan dunia lainnya.
“Kenyataannya, apa yang kita lihat di media arus utama, yang dimiliki oleh sekelompok kecil penguasa media terpilih di Eropa Barat khususnya, Amerika Serikat dan Amerika Utara pada umumnya. Mereka mendorong dan menyebarkan propaganda secara terang-terangan,” kata Brecht Jonkers, seorang sejarawan Muslim kepada Press TV.
Ditegaskannya, perang tidak baik apapun alasannya. Misalnya tentang perang di Yaman sama pentingnya, Suriah, Irak, Afghanistan, dan belahan bumi lainnya. Namun peliputan mereka melupakan hal itu semua, berbeda kini dengan perang yang terjadi antara Rusia – Ukraina. Media barat secara gencar dan jelas menjadi alat propaganda itu dan mengkampanyekan negatif Rusia.
“Bagaimana juga dengan pendudukan Israel atas tanah Palestina atau Dataran Tinggi Golan? Bagaimana pembelaan mereka?,” ungkapnya.
Rusia melancarkan operasi militer di Ukraina dipicu oleh ekspansi NATO ke arah timur dan penolakan aliansi militer untuk memberikan jaminan keamanan kepada Rusia.
Konflik tersebut telah memicu tanggapan langsung dari AS dan sekutunya. Rusia langsung diberondong dengan rangkaian sanksi, sementara politisi Barat dan media telah menyuarakan solidaritas dengan Ukraina.
“Amerika dengan gagah berani mengatakan bahwa Rusia tidak boleh lupa bahwa semua negara memiliki hak atas kedaulatan dan integritas teritorial. Tetapi Amerika lupa bahwa mereka tidak layak menasihati negara lainnya, berkaca pada sepak terjangnya selama ini,” tegas Brecht Jonkers.
Amerika bahkan telah menjadi satu-satunya negara di dunia yang secara resmi mengakui pencaplokan ilegal Israel atas Dataran Tinggi Golan Suriah.
Pada 2015, mantan Presiden AS, Donald Trump, mengakui wilayah pendudukan itu sebagai bagian dari Israel. Penggantinya, Joe Biden, telah menolak untuk membalikkan kebijakan itu. Dalam minggu-minggu terakhirnya menjabat, Donald Trump mengejutkan komunitas internasional dengan secara resmi mengakui Sahara Barat sebagai bagian dari Maroko.(Nto)